Setelah sebagian besar tahun ini menghadapi hambatan politik domestik dan ekspektasi pemangkasan suku bunga, greenback kembali mendapat dukungan bukan karena AS tampak jauh lebih cerah, melainkan karena para pesaingnya terlihat lebih buruk.
Sementara Eropa kembali terperosok dalam disfungsi politik, sementara arah kebijakan Jepang bergeser sehingga meredupkan optimisme jangka pendek untuk yen.
Gejolak politik Prancis memuncak usai Perdana Menteri Sébastien Lecornu mengundurkan diri, membuat harapan reformasi fiskal buyar dan mendorong kenaikan spread. Tanpa langkah ekstrem, kecil kemungkinan anggaran 2026 disahkan sebelum akhir tahun, membuat ekonomi terjebak dalam kebuntuan kebijakan dan risiko defisit yang meningkat. Opsi Presiden Emmanuel Macron menyempit: menunjuk PM baru yang bisa memakai Pasal 49.3 untuk memaksa anggaran lolos, menggelar pemilu dini, atau bahkan mundur dua opsi pertama kini kian mungkin.
Dampak jangka panjang pada euro bisa tertahan jika ECB mengaktifkan TPI untuk menahan pelebaran spread, namun narasi pertumbuhan dan tata kelola Eropa tetap rapuh. Di Parlemen Eropa, Christine Lagarde menegaskan proses disinflasi telah berakhir dan risiko pertumbuhan kini lebih seimbang. Sementara itu, pergeseran politik Jepang sama pentingnya: rencana pengangkatan Sanae Takaichi pengkritik normalisasi BOJ menghapus spekulasi kenaikan suku bunga bulan ini. Sikap reflasioner memberi sinyal kelanjutan kebijakan ultra-longgar, mendorong USD/JPY mantap di atas 150.
Pada September bahwa Dolar berpotensi diuntungkan resiliensi ekonomi AS itu tetap berlaku. Data IMF COFER menunjukkan pembelian bersih aset AS pada kuartal II, menandakan permintaan global atas eksposur AS masih solid.
Kini pilar lain muncul: ketika Prancis tersandung dan Jepang tampak menggandakan kebijakan uang longgar, stabilitas relatif Dolar menjadi argumen kekuatan.
Sumber: Bloomberg